berita.yahoo.com, Rencana redenominasi rupiah kembali marak diperbincangkan. Bank
Indonesia ingin rencana ini mulai terwujud pada 2013. Pemerintah
sepakat, dan bergegas mengajukan rancangan undang-undang ke DPR.
Secara
bahasa, denominasi artinya sebutan nilai nominal uang. Jadi,
re-denominasi berarti perubahan penyebutan nilai uang (BI lebih suka
menyebutnya “penyederhanaan nilai mata uang”). Melalui redenominasi, BI
akan menjadikan denominasi Rp 1000 menjadi Rp 1 dengan nilai yang sama.
Tidak berkurang.
Tujuannya apa? Sederhana, yaitu agar rupiah
seolah gagah. Tidak timpang dengan mata uang negara lain, terutama yang
satu kawasan. Jika kini $ 1 dihargai Rp 9.500, misalnya, kelak hanya Rp
9,5.
Namun di balik rencana yang sepertinya sederhana itu ada
ongkos besar! Berikut ini adalah biaya ekonomi dan sosial jika
redenominasi berjalan:
Mencetak uang baru
Proyek
percetakan uang sudah pasti di depan mata. Ini proyek raksasa, dengan
biaya yang raksasa pula. Dan sangat rentan bocor. Ingat kasus dugaan
korupsi pengadaan uang kertas pecahan Rp 100 ribu yang dibuat di
Australia? Nilainya mencapai Rp 12 miliar. Sekarang kasusnya sudah
menghilang pelan-pelan dari perhatian publik.
Proyek sosialisasi
Bank
Indonesia sudah merencanakan masa sosialisasi selama dua tahun.
Anggaran yang disiapkan untuk kegiatan ini jelas tidak akan kecil. Ada
perkiraan, biaya keseluruhan untuk mencetak uang baru dan proyek
sosialisasi bisa mencapai Rp 10 triliun.
Proyek ini bisa
digunakan untuk membiayai para pendukung kebijakan. Bisa jadi, setelah
DPR menyetujui misalnya, jumlah kuantitas seminar dan diskusi di Jakarta
terutama, akan naik lantaran ada injeksi dari proyek sosialisasi ini.
Dan asosiasi perusahaan iklan pun harus merevisi proyeksi belanja iklan.
Masyarakat bisa panik
Ada
pula kemungkinan bencana atau kekacauan. Bayangkan ketika Anda membeli
ikan mas seharga Rp 17 (padahal biasanya Rp 17 ribu), misalnya. Para
pedagang sayur atau yang berada di pasar basah tentu bakal kaget.
Apalagi
selama masa transisi, masyarakat diperbolehkan berbelanja baik dengan
uang baru (hasil redenominasi) maupun lama. Anda bisa saja berbelanja
senilai Rp 1.200 dan membayar dengan uang Rp 2. Lalu dapat kembalian Rp
800. Apa tidak kaget dan bingung?
Pembulatan harga
Hati-hati
terhadap pembulatan harga. Misalnya, jika saat ini sebuah barang dijual
Rp 2.400, bisa jadi nanti dibulatkan ke Rp 3 (uang baru). Pembulatan
ini akibat keinginan mengambil jalan pintas alias gampangnya saja.
Padahal,
dengan pembulatan seperti itu, ada kenaikan harga sebesar Rp 600 rupiah
dengan uang yang saat ini berlaku. Konsumen jelas sangat dirugikan. Dan
potensi kenaikan inflasi atau penurunan nilai mata uang, bisa tak
terelakkan.
Ongkos penyesuaian
Dunia usaha
dan perbankan pun harus menyesuaikan diri dengan kebijakan ini melalui
perubahan standar harga dan biaya. Daftar harga makanan di restoran
harus dicetak ulang. Software komputer harus disesuaikan. Mesin hitung
mungkin saja harus diganti. Bagi usaha kelas kecil dan menengah,
biayanya tidak sedikit.
Jika dihitung-hitung, ongkos ekonomi dan
sosial dari redenominasi terlalu mahal di tengah situasi yang tidak
menguntungkan bagi rakyat. Krisis global belum pulih. Hal ini bahkan,
bisa segera merambat ke dunia usaha di dalam negeri yang selanjutnya
berpotensi mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan.
Tidak ada
gunanya membebani rakyat dengan menelurkan kebijakan yang bisa bikin
panik. Kalau memang Gubernur BI Darmin Nasution ingin meninggalkan
warisan pada akhir masa jabatannya 2013 kelak, sebaiknya carilah
kebijakan lain. Yang lebih arif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar