Punk dan Pang di Aceh


detiknews.comJakarta - Ada pepatah Prancis yang artinya lebih kurang sejarah akan berulang (l'histoire se repete). Meski perulangannya tidak berbentuk rotasi tapi lebih berbentuk spiral apa yang dialami oleh komunitas punk di Aceh baru-baru ini juga pernah dialami oleh kelompok yang digerakkan, salah satunya oleh para Pang (baca: panglima), yakni Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Tentu saja komunitas punk tidak sama dengan kelompok para panglima di GAM. Meski begitu, kedua kelompok ini sama-sama memiliki jiwa pemberontakan. Jika GAM melawan negara (Indonesia) karena alasan Aceh maka komunitas punk melawan negara karena alasan kemuakan pada negara dengan segala tingkahnya yang diktator. Istilah anarko punk menjelaskan alasan jiwa pemberontakan (politik) punk.

Berbeda dengan gerakan perlawanan para panglima di GAM, anak-anak punk (punkers) tidak berontak dengan menggunakan senjata tempur seperti yang ada di GAM pada masa konflik dulu. Senjata anak-anak punk adalah diri mereka sendiri. Protes sosial-politik mereka lakukan melalui gaya rambut mohawk, tindik, jaket lusuh, rantai dan spike, jeans dan suara mereka sendiri.Persamaan punk dan GAM lebih pada persamaan nasib sosial-politik. Pada awalnya, respons sosial-politik atas GAM juga negatif meski pada saat yang sama tetap ada respon positif yang terbangun secara rahasia. Awalnya, GAM juga disebut sebagai kelompok kecewa, lalu meningkat menjadi kelompok yang membuat kerusuhan dan akhirnya meresahkan masyarakat. Berbagai lebel pun dilekatkan pada GAM, seperti GPL (Gerakan Pengacau Liar), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) dan puncaknya disebut sebagai gerakan separatis.

Lebeling sosial-politik inilah yang kemudian menyeret penguasa dan aparat ke jurang pelanggaran HAM. Untuk mendapatkan simpati dan dukungan politik banyak orang dan kelompok ikut menuduh, memposisikan dan menyerukan perlawanan terhadap GAM. Ujung-ujungnya rezim pemerintah ikut terseret dalam tuduhan pelanggaran HAM karena tindakan pencegahan, penolakan, dan "menghabisi" GAM dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Tindakan kekerasan yang sudah berlangsung lama itu segera terekspos begitu posisi rezim pemerintah pusat goyah oleh perseteruan politik di balik tuntutan perubahan politik.

Kisah-kisah kekerasan pun terungkap di balik apa yang disebut dengan 'sekolah' dan "pembinaan" oleh aparat yang didukung oleh penguasa kala itu. Pada saat itulah gerakan politik GAM mendapat tempat secara lebih nyata baik di Aceh, nasional dan dunia. GAM yang awalnya akrab tampil dengan isu-isu agama berubah dan tampil dengan isu-isu HAM. GAM yang awalnya sekedar gerakan kelompok kecil berubah menjadi perlawanan Aceh.

Jika hari ini dunia menyorot Aceh atas perlakuan yang dialami oleh anak-anak Punk yang oleh penguasa dan aparat disebut sebagai pembinaan begitu pula dulunya. Sebenarnya, sedikit sekali jejak dunia mendukung GAM sebagai sebuah organisasi untuk mencapai tujuan merdeka. Dukungan terbesar dunia adalah memberi perhatian dan dukungan untuk mencegah praktek pelanggaran HAM atas Aceh yang tidak hanya menimpa kaum pemberontak tapi juga rakyat biasa.

Kini, jika Aceh tidak tertarik dengan keberadaan komunitas punk tentu bisa dimaklumi. Selain karena alasan budaya dan agama keberadaan punk bisa juga menjadi bukti bahwa pemerintah Aceh gagal dalam membangun masyarakat sejahtera. Namun, alasan tidak tertarik pada komunitas punk tidak boleh menggunakan cara yang mengandung tindakan-tindakan yang berpotensi terjadinya pelanggaran HAM.

Mestinya, penguasa dan aparat di Aceh menarik pelajaran pada saat Aceh berada dalam masa kesulitan (dulu)agar bisa menemukan kemudahan dalam meraih masa depan. Bukankah dalam Islam dikenal petunjuk "dibalik kesulitan ada kemudahan bagi mereka yang berpikir." Itu artinya, penguasa tidak boleh menggerakkan aparat untuk melakukan suatu tindakan yang bukan proporsinya karena selalu ada kecenderungan untuk terjadinya pelanggaran HAM. Pembinaan, jika memang diperlukan cukup diserahkan kepada lembaga non polisi. Polisi cukup menindaklanjuti sisi pelanggaran hukumnya.

Memang, publikasi anak-anak punk berbaju koko usai salat melalui media bermanfaat secara politik di musim pilkada Aceh. Pesan politiknya jelas terbaca bahwa Pemkot Banda Aceh dibawah Mawardi Nurdin dan Illiza Sa'aduddin Djamal sangat pro pada penerapan syariat Islam. Jadi, jika ada isu bahwa Mawardi - Illiza (yang kembali mencalonkan diri di pilkada Aceh 2012) tidak pro syariat Islam di tengah desakan pengesahan Qanun Aqidah dan Akhlak bisa segera terbantah dengan aksi pembinaan anak-anak punk. Namun, tindakan penangkapan komunitas punk lalu mencopot identitas mereka melalui cara-cara militer/polisi apalagi dipakai sebagai alat politik untuk meraih dukungan sebagaimana dulu pernah dialami oleh GAM bukanlah tindakan tepat.

Dampaknya, Aceh dan Indonesia kembali mendapatkan sorotan, protes dan tekanan dunia. Malah, anak punk di Rusia menulis pesan yang jelas tapi memilukan hati kita karena mereka menyebut 'Religion = Fascism' di dinding KBRI di Moskow. Jika sudah begini apakah Pemkot Banda Aceh mau berangkat ke Moskow untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya Islam di Aceh adalah agama salam yang rahmatan lil 'alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar